Handwriting - Smiley Star

Rabu, 18 Desember 2013

SOEKARNO SENGAJA DIWAFATKAN

Diana | Rabu, 18 Desember 201310.46 |

  A. KEPERGIAN SANG PROKAMATOR

Wisma Yaso, Jakarta, 21 Juni 1970, menjadi saksi perginya seorang proklamator yang membawa lokomotif Indonesia menuju kemerdekaannya. Dia lah Ir. Soekarno. Setelah setahun diisolasi di Istana Batu Tulis oleh rezim Soeharto, akhirnya permohonan Soekarno untuk hijrah dan mendapatkan pengobatan di Jakarta dikabukan oleh Soeharto. Tapi, semua sudah terlambat. Penyakit sudah terlanjur berkarat dalam raga. Penyakit medis yang menggerogoti dan bebas psikolog karena dijauhkan dari keluarga sendiri dan dunia luar, membuat pertahanan Soekarno luruh bagai istana pasir. Hijrahnya dia ke Jakarta bagai menjadi wasiat terakhir dirinya untuk melihat ibukota yang telah ia perjuangkan dengan jalan revolusi bersama dengan para pejuang bangsa. Akhirnya tanah merah dan gembur di Desa Sentul Blitar, menjadi tempat peristirahatan terakhir. Namun, pada benak banyak orang masih tersisa satu Tanya, “apa yang terjadi sebenarnya?”

  B. PERLAKUAN REZIM YANG TAK PANTAS TERHADAP SEORANG MANTAN PRESIDEN

Sebagai seorang mantan presiden, Soekarno tak merasakan komplitnya fasilitas perawatan kesehatan sebagaimana mantan-mantan presiden dimasa sekarang. Dr. Mahar Madjono yang pernah mempelajari delapan buku mengenai perawatan Soekarno dalam rentang waktu 1967 hingga 1970, menyebutkan bahwa Soekarno hanya diberi obat-obat biasa, seperti vitamin-B komplek. Padahal, sang presiden menderita penyakit ginjal yang parah. Kesehatan Soekarno pun tidak ditangani oleh tim dokter dari beragam spesialisasi, melainkan hanya ditangani oleh seorang dokter umum.
Selain masalah medis yang tidak mendapatkan penanganan sebagaimana mestinya, secara psikolog pun Soekarno mengalami siksaan batin yang sangat berat. Ditengah sakitnya ia harus menghabiskan hari-hari terakhirnya dalam sebuah pengasingan politik dan mental. Hari-hari terakhirnya benar-benar berada dalam kesepian dan kesunyian yang nyaris sempurna. Dia tidak hanya dijauhkan dari publik tetapi juga dari keluarga-keluarganya sendiri. Bahkan, anak-anak Soekarno sendiri dibatasi aksesnya untuk dapat bertemu. Komplikasi beban medis dan psikolog inilah yang kemudian membunuh dirinya secara perlahan-lahan.
Banyak orang kemudian bertanya, “apakah rezim Soeharno sengaja untuk membunuhnya secara perlahan?” mengapa ketika ia dibesuk oleh Hatta, air matanya begitu deras mengalir, seolah-olah bendungan keangkuhan sebagai laki-laki tak lagi kuasa menahan derita tak terperi yang diterimanya? Seorang pria perkasa yang berani berteriak lantang kepada AS “go to hell with your aids” harus menangis sesenggukan seperti bayi merah.
Misteri semakin terbuka ketika dalam sebuah biografi ditulisan bahwa bung Hatta telah meminta Soeharto melalui durmawel, SH., penuntut umum perkara Dr. Soebandrio, agar Soeharto sesudah tiga tahun lebih mengusut perkara bung Karno. Lalu, segera mengajukan ke pengadilan untuk memastikan apakah Soekarno bersalah atau tidak. Sebab, jika putra sang Fajar itu meninggal dalam statusnya sebagai tahanan politik karena tidak diadili, rakyat di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang peraya bahwa bung Karno tidak bersalah, akan menuduh pemerintahan Soeharto sengaja membunuhnya. Bung Hatta juga sempat mengirimkan surat kepada Soeharto yang mengecam pada perlakuan tidak manusiawi yang diterima Soekarno dalam tahanan rumahnya.
Bahkan menurut putri Soekarno, Sukmawati Soekarno Putri, rezim Soeharto mengirimkan dokter hewan untuk merawat Soekarno. Bandingkan dengan 40 tim dokter ahli yang mendampingi dan merawat Soeharto ketika sakit. Itu menjadi salah satu alasan mengapa ia enggan untuk memaafkan Soeharto. Perlakuan tak manusiawi yang diberikan Soeharto itulah yang memicu banyak orang menduga bahwa rezim Orde baru sengaja berkonspirasi untuk membunuh sang proklamator secara halus dan perlahan.

Janda Soekarno, Dewi Soekarno, bahkan mencurigai rezim Soeharto telah meracuni suaminya. Mengapa harus dibunuh? Ada teori mengatakan bahwa setelah Soeharto menjadi Presiden / Mandataris MPRS, kekuasaannya memerlukan legitimasi (jalur yang sah), yakni melalui pemilu. Tapi pemilu itu menjadi inskonstitusional (melanggar UUD) selama Indonesia memiliki dua presiden, De Jure/secara hukum (Bung Karno) dan de facto sesuai kenyataanya (pak Harto). Jadi, tidak bisa tidak, salah satunya harus disingkirkan. Banyak yang memercayai teori menjadi alasan bagi “penyingkiran” Bung Karno.

Tags:
If you found this post helpful. Share, Subscribe or Read Related Articles.

Get Updates

Subscribe to our e-mail newsletter to receive updates.

Share This Post

Related posts

0 komentar:

my visitor

Website counter

FOLLOWERS

Terima kasih yaa !!
Copyright © 2013 Dii's blog. Bloggerized byOzynetwork converted by BloggerTheme9
Blogger template. Proudly Powered by Blogger.
back to top