A. MEREKA
YANG MENJERIT
Tanggal 29 Mei 2006 menjadi awal mula petaka yang
harus dialami oleh puluhan ribu rumah tangga di Desa Renokenongo, Sidoarjo,
Jawa Timur. Semburan lumpur berkekuatan lebih dari 70 ribu meter kubik perhari
itu secara cepat melibas desa-desa disekitrnya, menenggelamkan 12 desa, 24
pabrik, dan rumah penduduk yang tak terhitung. Bangunan-bangunan itu telah
menjadi fosil mengeras dibawah timbunan jutaan meter kubik lumpur. Ribuan orang
sontak kehilangan rumah tinggal. Lebih parahnya lagi, mereka harus kehilangan
satu-satunya mata pencaharian. Sebab, pabrik-pabrik dan perusahaan yang menjadi
mata pencaharian mereka tak tersisa dihantam lumpur. Secara total, kerugian
riil dan potensi kerugian yang diakibatkan oleh bencana lapindo sekitar 45
triliun setiap tahunnya. Itu hanya perkiraan secara finalsial. Belum termasuk
kerugian lainnya akibat keresahan, beban psikologis, dan masalah sosial lain
yang menjadi akses.
Meskipun
pemerintah telah mengultimatum agar proses ganti rugi kepada masyarakat harus
sudah selesai 100 persen pada tahun 2012, namun tampaknya hal tersebut jauh
diatas awing-awang. Sebab, pihak-pihak yang terlibat didalamnya menghindar dari
kewajiban. Lapindo telah menjadi komoditas politik yang kuat berhembus dari jajaran
elit negeri ini.
B. KESALAHAN
TEKNIS PENGEBORAN
Hasil penelitian independen oleh para pakar dari
universitas Durham (Inggris) dan Universitas California (Amerika) membuktikan
bahwa masalah lumpur lapindo dipastikan 99 persen disebabkan oleh kesalahan teknis
yang dilakukan oleh manusia, yang dalam hal ini tentu saja kemudian public
mengarahkan pandangannya ke Lapindo Brantas Inc. sebagai kontraktor yang
melakukan pengeboran. Menurut mereka, gempa bumi memang bisa menyebabkan luapan
lumpur, tetapi kemungkinan itu sangatlah kecil. Mengingat titik pusat gempa
berada cukup jauh dari sumur pengeboran Banjar-Panji 1 lapindo.
Laporan para peneliti itu merupakan laporan resmi
pertama dari hasil penelitan independen yang dilakukan oleh para geologi
internasional tentang luapan panas lapindo. Hingga munculnya laporan tersebut,
laporan-laporan yang ada tentang lumpur lapindo tak pernah secara khusus
menyebutkan kesalahan pengeboran sebagai satu-satunya penyebab. Misalnya dalam
laporan yang pernah dikutip oleh kompas. Di situ, hanya disebutkan bahwa
sebelas hari sebelum semburan gas terjadi, pihak lapindo sudah di ingatkan agar
segera memasang casing atau pipa selubung oleh rekanan proyek. Casing itu
seharusnya sudah harus dipasang sebelum pengeboran hingga di lapisan tanah yang
di duga mengandung gas atau minyak di kedalaman 2.804 meter. Nyatanya, lapindo
tidak memasang casing berdiameter 5/8 inci itu pada kedalaman 2.590 meter.
Padahal, pemasangan casing adalah salah satu rambu keselamatan dalam
pengeboran. Sebagai kelalaian itu yang dilakukan oleh lapindo atau tidak?
Jika pijakan ini yang dijadikan argumentasi, jelas
lapindo harus menanggung 100 persen kerugian yang diakibatkan oleh kubangan
lumpur raksasa yang menderas dari lahan eksplorasinya. Banyak orang menduga bahwa
lapindo setengah mati bermanuver di Jakarta untuk mengupayakan agar mereka bisa
mengurangi beban kerugian. Bahkan, kalo bisa mengalihkan kerugian ini menjadi
beban Negara. Caranya, dengan menjadikan kasus menyemburnya lumpur lapindo
sebagai bencana alam. Dengan begitu, kerugian yang timbul akan ditanggung oleh
anggaran darurat bencana alam.
Ajaib memang, pada akhirnya pemerintah pun
menyatakan bahwa lumpur lapindo merupakan peristiwa geologis dan masuk pada
kategori bencana alam. Salah satu dasar yang menguatkan pemerintah dan lapindo
adalah hasil kesimpulan dari lokakarya yang dilakukan oleh Ikatan Ahli Geologi
Indonesia di Jakarta. Lokakarya itu menggandeng Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi serta Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia untuk mengangkat tema
diskusi bnrtajuk “International Geological Workshop on Sidoarjo Mud Vulcano.”
Hasilnya mengejutkan, semburan panas lumpur lapindo disebabkan oleh gempa bumi.
Maka mengucurlah uang rakyat yang dilakukan Negara untuk menambal kerugian yang
timbul akibat kasus tersebut.
Banyak pihak yang meragukan Independensi lokakarya
itu. Sony Keraaf yang juga mantan Menteri Lingkungan Hidup dengan berani
mengatakan bahwa semburan lumpur lapindo adalah akibat gempa bumi. Ketua IAGI
periode 1973-1975, Koesoemadinata juga tak kalah sengit memberikan komentar
terhadap kesimpulan lokakarya IAGI. Ia menilai kesimpulan lokakarya itu tidak
mencerminkan IAGI yang independen, tidak berkaitan dengan materi. Bahkan,
cenderung bertolak belakang. Tak lupa KOesoemadinata mengatakan, dirinya sangat
prihatin dengan hasil lokakarya yang disebutkan bertaraf intrnasional itu.
menurutnya, sebagai lembaga ilmuan yang independen, IAGI harus memberikan ruang
mengenai adanya pendapat bahwa semburan lumpur panas itu terjadi karena
kelalaian pengeboran. Koesoemadinata mengkhawatirkan IAGI telah digunakan untuk
kepentingan-kepentingan tertentu. Padahal menurut dia, kebenaran ilmiah sebgai
ilmuwan harus dipertahankan.
0 komentar: