Handwriting - Smiley Star

Rabu, 18 Desember 2013

SKANDAL LAPINDO

Diana | Rabu, 18 Desember 201310.44 |

  A. MEREKA YANG MENJERIT

Tanggal 29 Mei 2006 menjadi awal mula petaka yang harus dialami oleh puluhan ribu rumah tangga di Desa Renokenongo, Sidoarjo, Jawa Timur. Semburan lumpur berkekuatan lebih dari 70 ribu meter kubik perhari itu secara cepat melibas desa-desa disekitrnya, menenggelamkan 12 desa, 24 pabrik, dan rumah penduduk yang tak terhitung. Bangunan-bangunan itu telah menjadi fosil mengeras dibawah timbunan jutaan meter kubik lumpur. Ribuan orang sontak kehilangan rumah tinggal. Lebih parahnya lagi, mereka harus kehilangan satu-satunya mata pencaharian. Sebab, pabrik-pabrik dan perusahaan yang menjadi mata pencaharian mereka tak tersisa dihantam lumpur. Secara total, kerugian riil dan potensi kerugian yang diakibatkan oleh bencana lapindo sekitar 45 triliun setiap tahunnya. Itu hanya perkiraan secara finalsial. Belum termasuk kerugian lainnya akibat keresahan, beban psikologis, dan masalah sosial lain yang menjadi akses.
Meskipun pemerintah telah mengultimatum agar proses ganti rugi kepada masyarakat harus sudah selesai 100 persen pada tahun 2012, namun tampaknya hal tersebut jauh diatas awing-awang. Sebab, pihak-pihak yang terlibat didalamnya menghindar dari kewajiban. Lapindo telah menjadi komoditas politik yang kuat berhembus dari jajaran elit negeri ini.

  B. KESALAHAN TEKNIS PENGEBORAN

Hasil penelitian independen oleh para pakar dari universitas Durham (Inggris) dan Universitas California (Amerika) membuktikan bahwa masalah lumpur lapindo dipastikan 99 persen disebabkan oleh kesalahan teknis yang dilakukan oleh manusia, yang dalam hal ini tentu saja kemudian public mengarahkan pandangannya ke Lapindo Brantas Inc. sebagai kontraktor yang melakukan pengeboran. Menurut mereka, gempa bumi memang bisa menyebabkan luapan lumpur, tetapi kemungkinan itu sangatlah kecil. Mengingat titik pusat gempa berada cukup jauh dari sumur pengeboran Banjar-Panji 1 lapindo.
Laporan para peneliti itu merupakan laporan resmi pertama dari hasil penelitan independen yang dilakukan oleh para geologi internasional tentang luapan panas lapindo. Hingga munculnya laporan tersebut, laporan-laporan yang ada tentang lumpur lapindo tak pernah secara khusus menyebutkan kesalahan pengeboran sebagai satu-satunya penyebab. Misalnya dalam laporan yang pernah dikutip oleh kompas. Di situ, hanya disebutkan bahwa sebelas hari sebelum semburan gas terjadi, pihak lapindo sudah di ingatkan agar segera memasang casing atau pipa selubung oleh rekanan proyek. Casing itu seharusnya sudah harus dipasang sebelum pengeboran hingga di lapisan tanah yang di duga mengandung gas atau minyak di kedalaman 2.804 meter. Nyatanya, lapindo tidak memasang casing berdiameter 5/8 inci itu pada kedalaman 2.590 meter. Padahal, pemasangan casing adalah salah satu rambu keselamatan dalam pengeboran. Sebagai kelalaian itu yang dilakukan oleh lapindo atau tidak?
Jika pijakan ini yang dijadikan argumentasi, jelas lapindo harus menanggung 100 persen kerugian yang diakibatkan oleh kubangan lumpur raksasa yang menderas dari lahan eksplorasinya. Banyak orang menduga bahwa lapindo setengah mati bermanuver di Jakarta untuk mengupayakan agar mereka bisa mengurangi beban kerugian. Bahkan, kalo bisa mengalihkan kerugian ini menjadi beban Negara. Caranya, dengan menjadikan kasus menyemburnya lumpur lapindo sebagai bencana alam. Dengan begitu, kerugian yang timbul akan ditanggung oleh anggaran darurat bencana alam.
Ajaib memang, pada akhirnya pemerintah pun menyatakan bahwa lumpur lapindo merupakan peristiwa geologis dan masuk pada kategori bencana alam. Salah satu dasar yang menguatkan pemerintah dan lapindo adalah hasil kesimpulan dari lokakarya yang dilakukan oleh Ikatan Ahli Geologi Indonesia di Jakarta. Lokakarya itu menggandeng Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi serta Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia untuk mengangkat tema diskusi bnrtajuk “International Geological Workshop on Sidoarjo Mud Vulcano.” Hasilnya mengejutkan, semburan panas lumpur lapindo disebabkan oleh gempa bumi. Maka mengucurlah uang rakyat yang dilakukan Negara untuk menambal kerugian yang timbul akibat kasus tersebut.

Banyak pihak yang meragukan Independensi lokakarya itu. Sony Keraaf yang juga mantan Menteri Lingkungan Hidup dengan berani mengatakan bahwa semburan lumpur lapindo adalah akibat gempa bumi. Ketua IAGI periode 1973-1975, Koesoemadinata juga tak kalah sengit memberikan komentar terhadap kesimpulan lokakarya IAGI. Ia menilai kesimpulan lokakarya itu tidak mencerminkan IAGI yang independen, tidak berkaitan dengan materi. Bahkan, cenderung bertolak belakang. Tak lupa KOesoemadinata mengatakan, dirinya sangat prihatin dengan hasil lokakarya yang disebutkan bertaraf intrnasional itu. menurutnya, sebagai lembaga ilmuan yang independen, IAGI harus memberikan ruang mengenai adanya pendapat bahwa semburan lumpur panas itu terjadi karena kelalaian pengeboran. Koesoemadinata mengkhawatirkan IAGI telah digunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Padahal menurut dia, kebenaran ilmiah sebgai ilmuwan harus dipertahankan.

Tags:
If you found this post helpful. Share, Subscribe or Read Related Articles.

Get Updates

Subscribe to our e-mail newsletter to receive updates.

Share This Post

Related posts

0 komentar:

my visitor

Website counter

FOLLOWERS

Terima kasih yaa !!
Copyright © 2013 Dii's blog. Bloggerized byOzynetwork converted by BloggerTheme9
Blogger template. Proudly Powered by Blogger.
back to top