A. HARGA YANG HARUS DIBAYAR UNTUK PROYEK
MENJATUHKAN SOEKARNO
Banyak dokumen terbongkar belakangan ini, yang didalamnya
membuka sebuah tirai kegelapan yang ditutupi oleh rezim Orde Baru selam 30 tahun
berkuasa. Bukan rahasia bahwa Amerika, melalui tangan CIA, menskenariokan
peristiwa G-30 S PKI yang dijadikan pintu masuk bagi komplotan Orde Baru
merebut kekuasaan melalui kudeta tak berdarah dari Orde Lama. Sejumlah dana dan
bantuan senjata diduga digelontorkan Amerika kepada Letjen Soeharto agar proyek
berjalan mulus. Amerika sudah demikian alergi dengan Bung Karno yang condong
kepada arus Sosialis Uni Soviet dan China yang menjadi seteru politik luar
negeri Amerika.
Memang
pada akhirnya Bung Karno jatuh secara mengenaskan dan wafat dalam penderitaan.
Setelah kemenangan rezim Soeharto, yang menandai dimulainya Orde Baru, Amerika
mulai meminta balas budi. Kebaikan Amerika harus dibayar sangat mahal oleh
Indonesia yang ketika itu dalam keadaan ekonomi yang sangat buruk.
Tak menunggu lama setelah Bung Karno dilengserkan pada 1967,
Soeharto dan rombongannya, The Berkley mafia (komplotan ekonomi yang disebut
sebagai ekonom-ekonom paling top milik Soeharto) mengadakan sebuah perundingan
Kilat di Jenewa dengan para raksasa-raksasa ekonomi Amerika. Misinya adalah
proyek mengemis utang dari konsorsium (kumpulan pengusaha) Barat dan Jepang.
Sebagai gantinya, Indonesia menyerahkan sumber-sumber alam luar biasa besar
kepada pemberi utang. Tak sampai 5 tahun pembangunan yang di biayai utang itu
mampu menjadikan Indonesia bangkit dari keterpurukan. Lalu, pada 1980,
Indonesia sempat menjadi raksasa di Asia Tenggara.
Celakanya, konsorsium yang dipimpin Amereki justru yang
paling menikmati keuntungan jangka panjang luar biasa. John Pilger, dalam
bukunya , The New Rules of The World, membongkar bagaimana perundingan di
Jenewa menjadi sebuah ajang bagi-bagi kue sumber alam Indonesia kepada sejumlah
kecil raksasa pimpinan Amerika. Para pesertanya meliputi para kapitalis yang
paling berkuasa di dunia. Diantaranya David Rocke Feller (seorang milioner
yahudi), general motors, imperial cemical industries, british Leyland, british
American tobako, american ekspress, siemens, good year, the international paper
corporation, us still, dan henri Kissinger. Indonesia, seperti biasa, menjual
buruh murah, pajak rendah dan kekayaan alam sebagai tukar guling utang.
Profesor Jeffery Winters dari Universitas Northwestern
menyebutkan bahwa pada hari kedua perundingan tanah Indonesia telah dikotak-kotak
untuk dibagi-bagi kepada mereka yang ada di dalam ruangan. “mereka membaginya
kedalam 5 seksi, yakni pertambangan disatu kamar, jasa-jasa dikamar lain,
industry ringan di kamar lain, perbangkan dikamar lain lagi. Lalu, yang
dilakukan oleh Chase Manhattan duduk dengan sebuah delegasi, mendiktekan
kebijakan-kebijkan yang dapat diterima oleh mereka dan para investor lainnya.
Kita saksikan para pemimpin korporasi besar ini berkeliling dri satu meja
kemeja lain. Mereka mengatakan ‘ini yang kami inginkan’. Mereka pada dasarnya,
merancang infrastruktur hukum untuk berinvestasi di Indonesia. Saya tidak
pernah mendengar situasi seperti itu sebelumnya. Dimana modal global duduk
dengan para wakil dari Negara yang diasumsikan sebagai Negara berdaulat dan merancang
persyaratan buat masuknya investasi mereka kedalam masyaraktnya sendiri.”
Kue itu begitu mudah dibagi-bagi oleh rezim Soeharto. Seperti
pada kasus Freeport. Korporasi Amerika berhasil mendapatkan jatah kue
pertambangan tembaga yang sangat kaya ditanah papua.
B. PIHAK YANG DIUNTUNGKAN DARI FREEPORT
Amerika berhasil menekan Indonesia untuk mengikat kontrak
karya ekplorasi mineral dihamparan lahan Freeport Papua selama 30 tahun
(1967-1997). Kemudian diperpanjang lagi untuk 20 tahun kedepan. Bayangkan! Selama
50 tahun kekayaan diserap habis-habisan oleh kapitalis amerika sehingga
menyisakan kemiskinan dan kerusakan lingkungan parah bagi tanah Papua. Tak
heran jika kemudian muncul gerakan sepataris untuk memerdekan Papua.
Forbes
Wilson, direktur Freeport sempat melakukan kalkulasi tentang tambang di
Erestberg, (lokasi lahan Freeport di Papua sekarang). Terdapat 13 juta ton
bijih tembaga dipermukaan tanah. Lalu, 14 juta ton dibawah tanah dengan
kedalaman 100 meter.
Jika untuk menambang 5000 ton bijih tembaga perhari
dibutuhkan investasi 60 juta dolar AS, dengan rincian biaya produksi 16 sen per
pond an harga jual 35 sen per pon, dalam tempo 3 tahun itu sudah balik modal.
Lalu, Freeport mendapatkan kontrak 50 tahun. Itu artinya, jika benar kalkulasi
Wilson, maka selama 47 tahun seterusnya, Freeport hanya menambang keuntungan
bersih yang tak terkira besarnya. Kenyataanya, mereka justru lebih tercengang
lagi. Sebab, angka deposit bijih tembaga itu ternyata jauh lebih besar dari
kalkulasi Wilson. Bahkan dalam buku George Enealey berjudul Grasberg,
menyebutkan saat ini Freeport Mc MoRan merupakan tambang tembaga yang mempunyai
deposit terbesar di dunia. Sedangkan, untuk emas menempati urutan pertama.
Diduga keras, dilokasi yang sama terdapat deposit uranium sebagai bahan energy
nuklir, yang harganya tentu berkali-kali lipat lebih mahal dari tembaga dan
emas. Lahan Freeport adalah surge tambang di dunia.
Lalu, apa yang didapatkan Indonesia? Ternyata saham
pemerintah Indonesia hanya 9,23%. Sementara Freeport sendiri menguasai 90, 77%.
Banyak kritikus sepakat bahwa apa yang terjadi pada kasus adalah perampokan
yang telah berusia puluhan tahun atas restu pemerintah. Indonesia resoures studies (IRES) menyatakan Indonesia telah
dirugikan dalam penerimaan Negara atas PT Freeport Indonesia (PTFI) yang tak
tanggung-tanggung jumlahnya setengah dari keuntungan PTFI.
Dari laporan keuangan 2008 yang diperoleh IRES, penerimaan
Negara dari pajak dan royalty selam periode 2004-2008 adalah sebanyak US $ 4,41
miliar. Sementara, total pendapatan PTFI selam periode periode sebanyak US $
17,89 miliar. Sekalipun seluruh pengeluaran biaya operasi dan pajak yang
dikeluarkan PTFI di asumsikan sebesar 50% dari pendapatan, PTFI masih untung
dengan total penerimaan bersih sebesar 8,94 miliar.
Karenanya,
menurut direktur eksekutif IRES Maruan Batubara, “kesenjangan penerimaan yang
merugikan Indonesia ini, harus segera diubah dan caranya adlah dengan melakan
negosiasi kembali kontrak karya dan pemilikan saham PTFI oleh BUMN.
0 komentar: